Habis-habisan yang tidak rugi adalah dengan Allah.
Menjaga Allah = 1. tidak berburuk sangka dengan Allah, Aku tergantung prasangka hambaku. Jika kita berburuk sangka kepada Allah sama saja dengan kita berburuk sangka terhadap diri sendiri. 2.ingatlah Allah saat senang, maka Allah akan mengingat kita saat kita susah.Caranya dengan sedekah waktu kita senang (mendapatkan rezeki). mungkin berbagi kebahagiaan merupakan salah satunya?
Ridhalah dengan nikmat yang sedikit maka Allah akan ridha dengan amal yang sedikit.
Saturday, November 10, 2018
About Dream (Cita dan Harapan)
Semua orang punya mimpi. Sebagian menjalani hidupnya untuk meraih mimpi yang sudah dicita-citakan dari kecil. Sebagian lagi menjalani mimpi orang tuanya, saudaranya, gurunya atau orang terdekatnya karena dipaksa atau karena tidak tahu arah hidupnya mau kemana. Sebagian lagi bermain aman dan tidak percaya pada kemampuannya untuk meraih mimpinya. Bisa jadi karena pernah gagal, atau karena ia hidup di lingkungan yang otoriter yang tidak membebaskannya untuk bermimpi sejak kecil. Apa yang paling mempengaruhi besar kecilnya tekad seseorang untuk mewujudkan mimpinya? Ada banyak faktor tentunya, tapi menurutku yang paling besar pengaruhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat seperti keluarga. Dukungan disini bisa dalam bentuk moral, tindakan dan finansial. Ketiga bentuk dukungan tersebut wajib kamu dapatkan. Jika salah satunya pincang, jalanmu meraih impian mungkin akan terseok-seok.
Mungkin kisah dibawah ini adalah salah satu dari triliunan kisah yang mewakilinya.
Kalau aku ditanya apa impianku sejak kecil? Aku akan menjawab ingin jadi dokter, karena aku ingin membantu orang-orang terdekatku yang ku sayangi agar tidak sakit lagi. Jawaban polos anak SD yang belum tahu apa-apa tentang hidup. I was trying to pursue my dream. tentu saja tidak ada orang yang tidak ingin cita-citanya tidak tercapai bukan.
Aku belajar keras untuk itu. Yang ku tahu hanya belajar, belajar dan belajar. Nilai-nilaiku bagus bahkan aku masuk ke SMP dan SMA favorit di kotaku. Aku puas dan aku yakin aku bisa sekolah kedokteran.
Namun seiring beranjak SMA aku mulai mengetahui informasi bahwa untuk masuk sekolah kedokteran dibutuhkan biaya yang sangat mahal, jika dibandingkan dengan pendapatan orang tuaku yang dibawah rata-rata pada saat itu. Rasa yakin dan optimis masih ada disitu, namun di sisi lain mulai bermunculan rasa takut, cemas dan iri. Takut karena orangtuaku pasti tidak setuju karena biayanya sangat mahal dan iri karena teman-temanku yang secara akademik tidak sebagus aku nilainya berkesempatan untuk mendaftar di sekolah kedokteran.
Tibalah masa kelulusan SMA dan kami mendapat undangan untuk mengikuti SNMPTN undangan waktu itu. FYI, ini hanya untuk 20% siswa yang nilainya di atas rata-rata. Akupun memilih salah satu universias di Jogja sebagai tempatku mengadukan nasib. Kupilih jalur bidikmisi agar nantinya tidak memberatkan kedua orangtuaku. Aku harap-harap cemas menanti pengumuman, banyak yang bilang susah menembus sekolah kedokteran apalagi pakai jalur bidikmisi. Hmm.. sudahlah kalau gagal ya coba lagi nanti, pikirku waktu itu. Aku tak terlalu banyak berharap kala itu.
Mungkin kisah dibawah ini adalah salah satu dari triliunan kisah yang mewakilinya.
Kalau aku ditanya apa impianku sejak kecil? Aku akan menjawab ingin jadi dokter, karena aku ingin membantu orang-orang terdekatku yang ku sayangi agar tidak sakit lagi. Jawaban polos anak SD yang belum tahu apa-apa tentang hidup. I was trying to pursue my dream. tentu saja tidak ada orang yang tidak ingin cita-citanya tidak tercapai bukan.
Aku belajar keras untuk itu. Yang ku tahu hanya belajar, belajar dan belajar. Nilai-nilaiku bagus bahkan aku masuk ke SMP dan SMA favorit di kotaku. Aku puas dan aku yakin aku bisa sekolah kedokteran.
Namun seiring beranjak SMA aku mulai mengetahui informasi bahwa untuk masuk sekolah kedokteran dibutuhkan biaya yang sangat mahal, jika dibandingkan dengan pendapatan orang tuaku yang dibawah rata-rata pada saat itu. Rasa yakin dan optimis masih ada disitu, namun di sisi lain mulai bermunculan rasa takut, cemas dan iri. Takut karena orangtuaku pasti tidak setuju karena biayanya sangat mahal dan iri karena teman-temanku yang secara akademik tidak sebagus aku nilainya berkesempatan untuk mendaftar di sekolah kedokteran.
Tibalah masa kelulusan SMA dan kami mendapat undangan untuk mengikuti SNMPTN undangan waktu itu. FYI, ini hanya untuk 20% siswa yang nilainya di atas rata-rata. Akupun memilih salah satu universias di Jogja sebagai tempatku mengadukan nasib. Kupilih jalur bidikmisi agar nantinya tidak memberatkan kedua orangtuaku. Aku harap-harap cemas menanti pengumuman, banyak yang bilang susah menembus sekolah kedokteran apalagi pakai jalur bidikmisi. Hmm.. sudahlah kalau gagal ya coba lagi nanti, pikirku waktu itu. Aku tak terlalu banyak berharap kala itu.
---to be continued--
Subscribe to:
Posts (Atom)