Beberapa hari belakangan ini hatiku sedang diujung keimananku. Penyebabnya adalah waktuku yang semakin sedikit sementara pekerjaanku belum beres. Padahal sudah kuusahakan sekuat tenaga untuk serajin mungkin agar pekerjaanku bisa selsai tepat waktu. Tapi kenyataannya H-1 bulan aku bahkan harus mengulang fermentasi.
Aku terserang gejala panik. Hatiku benar-benar tak bisa kukendalikan. Aku marah pada supervisorku, pada posdoc yang membantuku, pada diriku sendiri, pada lab dan terlebih lagi aku marah padaNya. Menganggap dia mempermainkanku, padahal aku sudah setengah mati mengikuti dan menaati semua perintahnya. Menganggap dia tidak memihak padaku. Aku kehilangan kepercayaan padaNya, pada semua manusia, pada profesorku, supervisorku dan semua orang di lab. Puncaknya aku menganggap Dia TIDAK ADA. Na'udzubillah..
Seminggu berlalu dengan keyakinan Dia TIDAK ADA. Hanya manusia yang bisa membantuku disaat seperti ini. Krena selama ini aku selalu menanamkan kepercayaan pada diriku sendiri bahwa aku tidak boleh bergantung pada manusia, siapapun itu. Karena aku PERCAYA hanya Allah yang bisa membantuku. Oleh karena itu ketika gejala panik menyerangku semuanya menjadi terbalik. Aku kehilangan kepercayaan diriku dan kepercayaanku padaNya. Aku melewatkan semua sholat dengan sengaja waktu itu. Aku merasa tak ada gunanya membaca al-qur'an. Na'udzubillah...
Berharap semingguku bisa berhasil dengan bantuan manusia itu. Ya memang benar eksperimenku berjalan lancar. Namun ada kegelisahan dalam hatiku. Pikiranku serasa bertarung. Yang satu mengingatkanku bahwa yang kulakukan salah dan aku harus kembali. Sedangkan satunya mengganggap itu benar karena kau sedang dalam masa sulit. Kau butuh pembenaran agar jiwamu tidak tersiksa. Kamu butuh blamming poin agar kau tidak menyalahkan dirimu terus. Keduanya sering beradu argumentasi dalam kepalaku setiap malam dalam seminggu itu sampai aku tidak bisa tidur. Sampai akhirnya di malam jum'at aku memutuskan untuk memutar surat Yasin sampai aku bisa tertidur.
Setelah itu aku tahu AKU SALAH tapi aku belum sadar sepenuhnya, karena sepertinya hatiku sudah terlanjur mengeras. Belum sadar akan kesalahanku, aku masih mengedepankan egoku. Sampai beberapa peristiwa memperingatkanku kalau aku sedang dihukum. Menelusuri peristiwa demi peristiwa itu akhirnya aku paham aku tak ingin mendapatkan murkanya yang lebih besar lagi. Aku takut padaNya. Sungguh aku takut. Berdasar pada ketakutan itu, kini aku mencoba untuk kembali. Semoga Engkau masih bisa menerimaku ya Allah. Ingin sekali rasanya menangis dan bersimpuh dihadapanmu. Berbicara berdua mengeluarkan semua keluh kesahku tapi aku tahu aku sedang dihukum. Jadi kuharap tulisan ini bisa mewakili obrolanku padamu. Yang entah bagaimana caranya.
Pelajaran: Penanaman tauhid sedari kecil sangat2 diperlukan. Kenalkan pada anak tentang Allah sedini mungkin. Ada sedikit cerita yang kudapat saat mengikuti kajian ahad siang di Masjid Indonesia Frankfurt minggu lalu, seperti ini. Jika kamu sudah memiliki anak, maka ajarkanlah kepada anakmu untuk berdoa pada Allah tiap kali dia memiliki keinginan, apapun itu. Misalnya Ia ingin dibelikan sepatu baru. Ajarkan padanya untuk berdoa pada Allah agar diberikan kemudahan rezeki bagi orang tuanya untuk membelikan sepatu untuknya. Jangan langsung bialng pada anak kalau Ia membutuhkan sesuatu minta dengan Ayah atau ibu. Itu salah karena nantinya Ia akan bersandar pada manusia (orang tuanya) bukan pada pencipta. Dan hal ini akan terbawa sampai dia dewasa nanti. Akan menjadi suatu yang membahayakan iman jika ia bertemu dengan orang yang tidak percaya akan Allah. Bisa jadi ia tersesat dan tidak percaya padaNya lagi.
Sekian. Semoga menginspirasi
Karena Ia pernah berkata sampaikanlah walau hanya satu ayat.
Happy weekend all.
Gießen, 1 April 2018
No comments:
Post a Comment