Wednesday, October 31, 2018

A letter from me to you

Dear mantan kandidat calon suami
Aku menulis surat ini dengan kondisi baik. Aku sadar dari awal memang tidak ada niat serius darimu. Aku memang bodoh karena baru menyadarinya setelah berkali-kali berpikir. Setelah kau mengakhirinya tanpa kata.

Namun aku masih ingin menyalahkanmu, karena kamu yang duluan memulai. Entah itu bermaksud serius atau hanya main-main. Namun salahmu sudah tak berarti. Tiada guna lagi. Kita berakhir tanpa sepatah kata pun. Aku belajar banyak darimu.

Ku harap kau pun mampu belajar banyak. Bukan dariku tapi dari sikapmu sendiri. Ku harap kau mampu melihat kedalam dirimu sendiri. Apakah kau pantas untuk dicintai atau tidak. Kuharap kau berhasil melakukannya. Karena aku sadar dunia ini terlalu kejam untuk dilalui sendirian.

Akupun akan melanjutkan hidup. Jauh seperti sebelum kau datang. Tenang saja aku tak akan memberitahukan siapapun. Hanya teman dunia mayaku yang tau.
Kau sungguh menyadarkanku betapa berharganya diriku.

Terimakasih


                

Tuesday, October 23, 2018

Tentang Memilih (Calon Suami) pt 2

Well, ini lanjutan dari kisah sebelumnya. Jadi tentang mantan. To be honest, aku juga ga nyangka kenapa aku tiba-tiba nanya itu. Mungkin karena saking udah gaada topik lagi yang bisa dibahas atau emang aku butuh jawaban atas perubahan sikapnya.

Akhirnya dia menjelaskan kalau dia pernah punya pacar yang sangat dicintainya. Sampai ada di sutau titik dimana si cewek minta dinikahi (karena mungkin emang sudah cukup umur). Tapi ia belum siap kala itu. (dia tidak mengatakan apakah dia meninggalkannya atau masih tetap berhubungan). Intinya saat sang lelaki kembali si cewek sudah punya planning untuk menikah dengan lelaki lain. Aku tahu sih rasanya ditinggal nikah emang gak enak tapi waktu itu aku biasa aja (waktu mantanku nikah). Problemnya disini mungkin sang lelaki sudah amat sangat mencintai wanitanya dengan begitu dalam hingga akhirnya dia tidak mampu menerima kabar itu. Namun ia berupaya terlihat tegar dihadapannya. Mungkin dia pikir itu akan baik-baik saja dan akan cepat terlupakan. Tapi tidak semudah itu kawan!

Buktinya ia tak mampu mempercayai cinta lagi, ia tak mampu mencintai seseorang lagi. Asumsinya hatinya sudah terlanjur hancur berkeping-keping hingga mati rasa. Bahkan sampai ada seorang cewek (setelah mbak yang pertama) mengajakanya menikah namun ia tolak dengan alasan kita hanya berteman. Okay it doesn’t make sense! For me, ketika seorang cewek sudah seberani itu berarti cowoknya juga fine dengan perlakuan si cewek. Dan dengan entengnya dia membiarkan hal itu terjadi, membiarkan si cewek bermain dengan imajinasinya sendiri, menganggap hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Well, itu urusan mereka. Aku gamau ikut campur. So, which one is giving impact on me? Okay let me tell you. In front of me, clearly he stated that “aku gagal move on”. “aku gabisa jatuh cinta”. “jangan berharap sama aku”. What the fuck! Apa yang bikin aku sampai sejengkel itu? Kenyataan bahwa dia yang datang duluan, kenyataan bahwa ia yang memulai duluan dan kenyataan bahwa aku sudah terlanjur baper duluan dan ia hanya testing. Di satu sisi aku kasihan sama dia tapi disisi lain hatiku juga sakit. Ibaratnya aku udah buang waktuku untuk meladeni orang yang bahkan merecovery dirinya sendiri aja gabisa. Orang yang loving himself aja gabisa bagaimana mungkin ia bisa loving others. Aku kecewa disitu. Tapi yang terekspresikan adalah simpati (kebodohan kedua yang kulakukan).

Aku pulang dengan harapan yang sudah pupus. Aku ingin membencinya tapi itu tidak membantu banyak. Intinya aku ingin menganggap semuanya tidak pernah terjadi tapi aku masih kepikiran. Aku berandai jika ia memang sudah move on apakah dia akan menerimaku? Atau gagal move on itu hanya alasan untuk menolakku karena aku ada di bawah standartnya? Entahlah.. aku ingin memperjelasnya namun sepertinya ia cukup pengecut untuk menegaskan. This is what I dislike from Indonesian boy/man. Tukang php dan tidak pernah tegas. He’s really like bocah for me. For a man at that age (35 yo) he seems like early 20’s boy in my eyes.

Dan sampai sekarang sejak pertemuan itu dia tidak pernah ngechat aku lagi. So, is this the end? Even for the end of conversation I should guess by my self.


Let me tell you, I don’t want you anymore. You are free. But listen I have a letter for you J

= the end=

Tentang Memilih (Calon Suami)

Disclaimer: tulisan ini tidak bermaksud menyinggung pihak manapun

To all readers, I’m ready to share this story. It’s burden my mind and soul all the time. I hope it can help me healing faster.

Right now (seminggu terakhir) aku masih dalam proses healing. Ya healing. Tahap recovery dari carut marutnya hati. Tahap penerimaan dari sakitnya patah hati, dari sakitnya penolakan akibat suatu ekspektasi. Urusan hati memang selalu rumit buatku. Entah aku yang tak pernah belajar atau memang hatiku yang terlalu gampang jatuh. Kupikir aku tak kan salah pilih lagi, berkali dihadapkan pada 2 pilihan aku selalu memilih yang kedua. Dulu saat aku mulai mengenal cinta itu yang kulakukan. Pikirku, jika kau benar mencintai yang pertama maka kau tidak akan pernah melirik ke yang kedua. Ini selalu terjadi di setiap tahap pendewasaanku dimulai sejak sekolah pertama. Waktu itu aku rela melepaskan dia yang sudah lebih dulu bersamaku demi orang kedua yang sudah ku-idamkan sejak lama. Namun berujung pada kekecewaan yang cukup dalam. Lima tahun aku menunggunya, hanya untuk menyadari bahwa ia sama sekali tak pernah menginginkanku. Aku hancur saat itu, aku benar-benar terluka. Belajar untuk menerima kenyataan bahwa ia yang kau inginkan tak akan pernah ada di hidupmu selamanya. Tentu saja itu bukan hal mudah untuk diriku yang baru beranjak memahami kehidupan. Setelah struggling yang cukup lama akhirnya aku berhasil menata hatiku lagi. Berusaha untuk menjaganya agar tidak terjatuh lagi pada orang yang salah. Namun sepertinya aku belum cukup lihai untuk hal itu. Kedua, ketiga dan keempat kalinya ia terjatuh lagi tanpa ku menyadarinya. Pretending I’m alright, pretending I don’t want him but all is lied. I was broken. I tried again and again to cover it up. Didn’t let anyone see it. No body. But now, why I write this? I’d enough! I can’t bear anymore. Every single scar that I got slowly killing me inside. My heart become so weak.

So, this is the story begin. It was about a week ago. I met a man (35 y.o.), would probably not a boy anymore, for the first time (and might be the last). He was coming not in the right time. Why? I had a boyfriend at that time but my relationship was about to end (so many fights and tears). Sebagai seorang cewek yang tau hubungannya akan segera berakhir, aku cukup senang karena nantinya tak perlu waktu lama untuk menjomblo lagi, pikirku waktu itu. Dia menghubungiku untuk pertama kalinya dan aku membalasnya dengan hangat. (mungkin itu juga salahku). Hingga tanpa kusadari aku mulai mengabaikan my boyfriend. Aku asyik ‘bercengkerama’ dengan yang baru datang. Hingga aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku sedikit lebih cepat karena ketidaknyamanan yang semakin besar. Dan juga aku ingin fokus ke satu orang saja (yang kedua) yang juga direstui orang tuaku. Karena yang pertama cukup tidak berkenan di hati mereka.

Aku tidak peduli dengan bagaimana hubunganku berakhir dan aku tidak memberikan kesempatan kedua. Sementara aku semakin intens berkomunikasi dengan yang kedua selama dua minggu terakhir. Namun ada perasaan janggal disitu ketika aku merasa akhir-akhir ini selalu aku yang memulai percakapan. Aku merasa ada yang berubah. Puncaknya saat kami berada di sebuah acara yang sama di satu kota, ia sama sekali tidak menghubungiku dan ia mau tidak seorangpun mengetahui tentang kita. Aku merasa aneh disitu. Namun ia menjelaskan bahwa tidak ingin jikalau gagal gosipnya tidak menyebar kemana2. Karena acara tersebut ada di kantornya. Okay, aku mencoba memahaminya dan mengikuti aturan mainnya eventough aku ngerasa ga dianggep sama sekali. To be honest aku sedih dan mikir lebih baik aku ga pernah datang.

Esoknya kami sudah berencana untuk bertemu jauh-jauh hari sebelumnya. Maka aku berusaha untuk mengkonfirmasinya. Tak kusangka ia menjawab, “besok ku kabari lagi sebelum jam 1. Diusahakan bisa”. What the fuck! Aku udah spare waktu buat kita ketemuan tapi jawabnnya diusahakan. Okay fine aku tunggu sampai jam 1. Sampai setengah 3 tidak ada kabar dan aku mulai gemas. Aku berusaha memancing dengan bilang mau pergi dengan teman, jika memungkinkan balik sebelum jam 5 (jam awal janjian ketemu) kita bisa ketemu namun jika tidak aku akan langsung pulang. Parahnya dia hanya menjawab okay. Fine! Aku emosi disitu. Why? Karena aku udah terlanjur beli tiket pesawat paling malam (21.20) dan bela-belain pulang sendirian (temanku pulang jam 7 malam naik kereta). Aku protes mengungkapkan kekesalanku padanya dan akhirnya dia berkata mengikuti apa mauku dan akhirnya kita ketemu jam 17.30 sore. Rencana awal dia mau ngajak makan akhirnya tidak jadi dan langsung mengantarku ke bandara. Akhirnya kita nongkrong di salah satu tempat dan ngobrol sampai waktu boarding 20.50 malam.

Well, nothing special on our conversation. My mood was already broken since the beginning. Both of us feel tired. One question lingering my mind, why he changed? Then I try to ask about ex. Did he has or not? This going to be pretty interesting for me. At the beginning he said, “how if I don’t want to answer?”. I said, ya that’s okay you have right to keep silent.

=to be continued=