Tuesday, October 23, 2018

Tentang Memilih (Calon Suami)

Disclaimer: tulisan ini tidak bermaksud menyinggung pihak manapun

To all readers, I’m ready to share this story. It’s burden my mind and soul all the time. I hope it can help me healing faster.

Right now (seminggu terakhir) aku masih dalam proses healing. Ya healing. Tahap recovery dari carut marutnya hati. Tahap penerimaan dari sakitnya patah hati, dari sakitnya penolakan akibat suatu ekspektasi. Urusan hati memang selalu rumit buatku. Entah aku yang tak pernah belajar atau memang hatiku yang terlalu gampang jatuh. Kupikir aku tak kan salah pilih lagi, berkali dihadapkan pada 2 pilihan aku selalu memilih yang kedua. Dulu saat aku mulai mengenal cinta itu yang kulakukan. Pikirku, jika kau benar mencintai yang pertama maka kau tidak akan pernah melirik ke yang kedua. Ini selalu terjadi di setiap tahap pendewasaanku dimulai sejak sekolah pertama. Waktu itu aku rela melepaskan dia yang sudah lebih dulu bersamaku demi orang kedua yang sudah ku-idamkan sejak lama. Namun berujung pada kekecewaan yang cukup dalam. Lima tahun aku menunggunya, hanya untuk menyadari bahwa ia sama sekali tak pernah menginginkanku. Aku hancur saat itu, aku benar-benar terluka. Belajar untuk menerima kenyataan bahwa ia yang kau inginkan tak akan pernah ada di hidupmu selamanya. Tentu saja itu bukan hal mudah untuk diriku yang baru beranjak memahami kehidupan. Setelah struggling yang cukup lama akhirnya aku berhasil menata hatiku lagi. Berusaha untuk menjaganya agar tidak terjatuh lagi pada orang yang salah. Namun sepertinya aku belum cukup lihai untuk hal itu. Kedua, ketiga dan keempat kalinya ia terjatuh lagi tanpa ku menyadarinya. Pretending I’m alright, pretending I don’t want him but all is lied. I was broken. I tried again and again to cover it up. Didn’t let anyone see it. No body. But now, why I write this? I’d enough! I can’t bear anymore. Every single scar that I got slowly killing me inside. My heart become so weak.

So, this is the story begin. It was about a week ago. I met a man (35 y.o.), would probably not a boy anymore, for the first time (and might be the last). He was coming not in the right time. Why? I had a boyfriend at that time but my relationship was about to end (so many fights and tears). Sebagai seorang cewek yang tau hubungannya akan segera berakhir, aku cukup senang karena nantinya tak perlu waktu lama untuk menjomblo lagi, pikirku waktu itu. Dia menghubungiku untuk pertama kalinya dan aku membalasnya dengan hangat. (mungkin itu juga salahku). Hingga tanpa kusadari aku mulai mengabaikan my boyfriend. Aku asyik ‘bercengkerama’ dengan yang baru datang. Hingga aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku sedikit lebih cepat karena ketidaknyamanan yang semakin besar. Dan juga aku ingin fokus ke satu orang saja (yang kedua) yang juga direstui orang tuaku. Karena yang pertama cukup tidak berkenan di hati mereka.

Aku tidak peduli dengan bagaimana hubunganku berakhir dan aku tidak memberikan kesempatan kedua. Sementara aku semakin intens berkomunikasi dengan yang kedua selama dua minggu terakhir. Namun ada perasaan janggal disitu ketika aku merasa akhir-akhir ini selalu aku yang memulai percakapan. Aku merasa ada yang berubah. Puncaknya saat kami berada di sebuah acara yang sama di satu kota, ia sama sekali tidak menghubungiku dan ia mau tidak seorangpun mengetahui tentang kita. Aku merasa aneh disitu. Namun ia menjelaskan bahwa tidak ingin jikalau gagal gosipnya tidak menyebar kemana2. Karena acara tersebut ada di kantornya. Okay, aku mencoba memahaminya dan mengikuti aturan mainnya eventough aku ngerasa ga dianggep sama sekali. To be honest aku sedih dan mikir lebih baik aku ga pernah datang.

Esoknya kami sudah berencana untuk bertemu jauh-jauh hari sebelumnya. Maka aku berusaha untuk mengkonfirmasinya. Tak kusangka ia menjawab, “besok ku kabari lagi sebelum jam 1. Diusahakan bisa”. What the fuck! Aku udah spare waktu buat kita ketemuan tapi jawabnnya diusahakan. Okay fine aku tunggu sampai jam 1. Sampai setengah 3 tidak ada kabar dan aku mulai gemas. Aku berusaha memancing dengan bilang mau pergi dengan teman, jika memungkinkan balik sebelum jam 5 (jam awal janjian ketemu) kita bisa ketemu namun jika tidak aku akan langsung pulang. Parahnya dia hanya menjawab okay. Fine! Aku emosi disitu. Why? Karena aku udah terlanjur beli tiket pesawat paling malam (21.20) dan bela-belain pulang sendirian (temanku pulang jam 7 malam naik kereta). Aku protes mengungkapkan kekesalanku padanya dan akhirnya dia berkata mengikuti apa mauku dan akhirnya kita ketemu jam 17.30 sore. Rencana awal dia mau ngajak makan akhirnya tidak jadi dan langsung mengantarku ke bandara. Akhirnya kita nongkrong di salah satu tempat dan ngobrol sampai waktu boarding 20.50 malam.

Well, nothing special on our conversation. My mood was already broken since the beginning. Both of us feel tired. One question lingering my mind, why he changed? Then I try to ask about ex. Did he has or not? This going to be pretty interesting for me. At the beginning he said, “how if I don’t want to answer?”. I said, ya that’s okay you have right to keep silent.

=to be continued=

No comments:

Post a Comment