Tuesday, October 23, 2018

Tentang Memilih (Calon Suami) pt 2

Well, ini lanjutan dari kisah sebelumnya. Jadi tentang mantan. To be honest, aku juga ga nyangka kenapa aku tiba-tiba nanya itu. Mungkin karena saking udah gaada topik lagi yang bisa dibahas atau emang aku butuh jawaban atas perubahan sikapnya.

Akhirnya dia menjelaskan kalau dia pernah punya pacar yang sangat dicintainya. Sampai ada di sutau titik dimana si cewek minta dinikahi (karena mungkin emang sudah cukup umur). Tapi ia belum siap kala itu. (dia tidak mengatakan apakah dia meninggalkannya atau masih tetap berhubungan). Intinya saat sang lelaki kembali si cewek sudah punya planning untuk menikah dengan lelaki lain. Aku tahu sih rasanya ditinggal nikah emang gak enak tapi waktu itu aku biasa aja (waktu mantanku nikah). Problemnya disini mungkin sang lelaki sudah amat sangat mencintai wanitanya dengan begitu dalam hingga akhirnya dia tidak mampu menerima kabar itu. Namun ia berupaya terlihat tegar dihadapannya. Mungkin dia pikir itu akan baik-baik saja dan akan cepat terlupakan. Tapi tidak semudah itu kawan!

Buktinya ia tak mampu mempercayai cinta lagi, ia tak mampu mencintai seseorang lagi. Asumsinya hatinya sudah terlanjur hancur berkeping-keping hingga mati rasa. Bahkan sampai ada seorang cewek (setelah mbak yang pertama) mengajakanya menikah namun ia tolak dengan alasan kita hanya berteman. Okay it doesn’t make sense! For me, ketika seorang cewek sudah seberani itu berarti cowoknya juga fine dengan perlakuan si cewek. Dan dengan entengnya dia membiarkan hal itu terjadi, membiarkan si cewek bermain dengan imajinasinya sendiri, menganggap hubungan mereka lebih dari sekedar teman. Well, itu urusan mereka. Aku gamau ikut campur. So, which one is giving impact on me? Okay let me tell you. In front of me, clearly he stated that “aku gagal move on”. “aku gabisa jatuh cinta”. “jangan berharap sama aku”. What the fuck! Apa yang bikin aku sampai sejengkel itu? Kenyataan bahwa dia yang datang duluan, kenyataan bahwa ia yang memulai duluan dan kenyataan bahwa aku sudah terlanjur baper duluan dan ia hanya testing. Di satu sisi aku kasihan sama dia tapi disisi lain hatiku juga sakit. Ibaratnya aku udah buang waktuku untuk meladeni orang yang bahkan merecovery dirinya sendiri aja gabisa. Orang yang loving himself aja gabisa bagaimana mungkin ia bisa loving others. Aku kecewa disitu. Tapi yang terekspresikan adalah simpati (kebodohan kedua yang kulakukan).

Aku pulang dengan harapan yang sudah pupus. Aku ingin membencinya tapi itu tidak membantu banyak. Intinya aku ingin menganggap semuanya tidak pernah terjadi tapi aku masih kepikiran. Aku berandai jika ia memang sudah move on apakah dia akan menerimaku? Atau gagal move on itu hanya alasan untuk menolakku karena aku ada di bawah standartnya? Entahlah.. aku ingin memperjelasnya namun sepertinya ia cukup pengecut untuk menegaskan. This is what I dislike from Indonesian boy/man. Tukang php dan tidak pernah tegas. He’s really like bocah for me. For a man at that age (35 yo) he seems like early 20’s boy in my eyes.

Dan sampai sekarang sejak pertemuan itu dia tidak pernah ngechat aku lagi. So, is this the end? Even for the end of conversation I should guess by my self.


Let me tell you, I don’t want you anymore. You are free. But listen I have a letter for you J

= the end=

No comments:

Post a Comment